lanjutan dari KAFE 1
Kenapa juga aku mesti bertemu dan kenal dengannya, tanyaku dalam hati. Aku tak mau itu terjadi lagi. sudah cukup, pintaku sendiri. Namun apa yang terjadi amat mudah ditebak. Kini, aku berada disini, hanya berdua bersamanya.
Dia masih diam, sibuk dengan jus jeruknya. Diaduk, diputar-putar gelasnya. kulihat sekilas jus jeruk itu tak banyak berkurang dari sebelumnya. Kembali tatapanku kupakukan padanya, pandangan kami beradu, dia tersenyum.
“Psst,” dia lambaikan tangannya di hadapanku. “Ngelamun ya?” tanyanya. “Iiih, jauh-jauh diajak ke sini malah ngelamun.”
“Aku cuma berpikir, siapa sih orang yang kaumaksud tadi?” kataku berbohong. “Gak usah dipikirin, bentar lagi dia juga pasti muncul.”
“Itu artinya kamu janji ketemuan dengannya di sini.”
Dia tersenyum. “Ini surprise buat kamu,” jawabnya singkat mengacuhkan pertanyaanku.
Hatiku meloncat, bertanya dalam bisu, gerangan apalagi yang dia maksud. Penuhi dirimu dengan sejuta teka-teki, semakin menarik dirimu bagiku. Tiba-tiba saja dia meraih tanganku, hangat kurasakan telapaknya. “Eh, itu tuh dia datang,” bisiknya seraya menarik-narik tanganku.
Kuikuti kemana arah pandangannya. Tertangkap jelas oleh mataku sebuah pemandangan yang takkan pernah kuharapkan ada di depanku untuk saat ini. Mendesir hatiku. Serasa membeku kurasakan dadaku. Kukembalikan pandanganku ke arahnya, kali ini penuh tanya. Dia tersenyum, perlahan dia bangkit dari kursinya, seketika itu pula tanganku terlepas dari genggamannya. Dia berdiri, melambai-lambai kepada seorang gadis di pintu masuk. Aku melorot lemas di kursiku. Cepat sekali udara menjadi dingin di sekelilingku.
Gadis itu berdiri di depan kami, menyapa ramah kepadanya kemudian beralih kepadaku. Namun tak ada setitikpun keramahannya untukku. “Jadi, bagaimana ini semua ceritanya?”
Belum sempat aku menjawab, Anisa lebih dulu bersuara. “Bagaimana, Benarkan apa kataku?” katanya penuh semangat dalam senyumnya yang masih tetap menawan.
Segalanya mulai menjadi jelas bagiku, inilah apa yang disebut surprise oleh Anisa. “Iya, benar apa yang dikatakan oleh Anisa,” kataku ikut bersuara. Entah apa dia mendengarku atau tidak, aku tak ambil pusing, yang jelas aku tak mau nampak bodoh dalam keadaan seperti sekarang.
“Ah, diam kamu!” sergah Dewi ketus kepadaku. Suaranya, lebih dari cukup untuk membuat seisi kafe menoleh ke arah kami.
“Udah Wi’, duduk dulu. Kita bicara baik-baik, pelan-pelan. Oke!” pintaku padanya perlahan. Kulirik Anisa, dia tersenyum, mencibir penuh kemenangan ke arahku. Jadi, ini semua yang kau maksudkan untukku. Sialan!
“Udahlah! Gak ada lagi yang perlu dibicarakan antara aku dan kamu, semuanya sudah jelas bagiku.” sergah Dewi. “Jadi, aku benar-benar salah nih?”
“Gak usah dijelasin juga kamu sudah tahu! Ayo Nis, kita cabut. Sudah jelas sekarang siapa dia sebenarnya!” cerocos Dewi seraya menggandeng Anisa pergi meninggalkan meja kami.
Aku hanya bisa memandangi mereka berlalu dari hadapanku, kulihat seisi kafe terpaku ke mejaku. Tak ada lagi gejolak hangat dalam hatiku, kosong sudah rasanya. Begini juga akhirnya, namun kali ini akulah yang kalah. Kulirik Anisa dan Dewi yang semakin menjauh. Terkeseiap aku melihat mereka berdua, dengan sudut mataku tertangkap jelas Anisa melempar senyum menggoda kepadaku. Tak cuma itu, dengan genit dia melempar kecupan dibumbui kerling nakal matanya ke arahku.
Sialan! Aku mengumpat dalam hati sambil melihat sekeliling. Siapa tahu ini jebakan. Pikirku. Siapa tahu ini direkam oleh kamera sebuah acara reality show yang suka cari gara-gara. Siapa tahu sebentar lagi akan muncul sang presenternya. Siapa tahu… siapa tahu…, tapi tak tak ada siapa-siapa yang muncul. Baik itu kamera ataupun presenternya.
Surabaya, 6 Desember 2013