Posts Tagged ‘romantis’

KAFE 2

Posted: 6 Desember 2013 in CERPEN, Tak Berkategori
Tag:, , , ,

lanjutan dari KAFE 1

Kenapa juga aku mesti bertemu dan kenal dengannya, tanyaku dalam hati. Aku tak mau itu terjadi lagi. sudah cukup, pintaku sendiri. Namun apa yang terjadi amat mudah ditebak. Kini, aku berada disini, hanya berdua bersamanya.

Dia masih diam, sibuk dengan jus jeruknya. Diaduk, diputar-putar gelasnya. kulihat sekilas jus jeruk itu tak banyak berkurang dari sebelumnya. Kembali tatapanku kupakukan padanya, pandangan kami beradu, dia tersenyum.

“Psst,” dia lambaikan tangannya di hadapanku. “Ngelamun ya?” tanyanya. “Iiih, jauh-jauh diajak ke sini malah ngelamun.”

“Aku cuma berpikir, siapa sih orang yang kaumaksud tadi?” kataku berbohong. “Gak usah dipikirin, bentar lagi dia juga pasti muncul.”

“Itu artinya kamu janji ketemuan dengannya di sini.”

Dia tersenyum. “Ini surprise buat kamu,” jawabnya singkat mengacuhkan pertanyaanku.

Hatiku meloncat, bertanya dalam bisu, gerangan apalagi yang dia maksud. Penuhi dirimu dengan sejuta teka-teki, semakin menarik dirimu bagiku. Tiba-tiba saja dia meraih tanganku, hangat kurasakan telapaknya. “Eh, itu tuh dia datang,” bisiknya seraya menarik-narik tanganku.

Kuikuti kemana arah pandangannya. Tertangkap jelas oleh mataku sebuah pemandangan yang takkan pernah kuharapkan ada di depanku untuk saat ini. Mendesir hatiku. Serasa membeku kurasakan dadaku. Kukembalikan pandanganku ke arahnya, kali ini penuh tanya. Dia tersenyum, perlahan dia bangkit dari kursinya, seketika itu pula tanganku terlepas dari genggamannya. Dia berdiri, melambai-lambai kepada seorang gadis di pintu masuk. Aku melorot lemas di kursiku. Cepat sekali udara menjadi dingin di sekelilingku.

Gadis itu berdiri di depan kami, menyapa ramah kepadanya kemudian beralih kepadaku. Namun tak ada setitikpun keramahannya untukku. “Jadi, bagaimana ini semua ceritanya?”

Belum sempat aku menjawab, Anisa lebih dulu bersuara. “Bagaimana, Benarkan apa kataku?” katanya penuh semangat dalam senyumnya yang masih tetap menawan.

Segalanya mulai menjadi jelas bagiku, inilah apa yang disebut surprise oleh Anisa. “Iya, benar apa yang dikatakan oleh Anisa,” kataku ikut bersuara. Entah apa dia mendengarku atau tidak, aku tak ambil pusing, yang jelas aku tak mau nampak bodoh dalam keadaan seperti sekarang.

“Ah, diam kamu!” sergah Dewi ketus kepadaku. Suaranya, lebih dari cukup untuk membuat seisi kafe menoleh ke arah kami.

“Udah Wi’, duduk dulu. Kita bicara baik-baik, pelan-pelan. Oke!” pintaku padanya perlahan. Kulirik Anisa, dia tersenyum, mencibir penuh kemenangan ke arahku. Jadi, ini semua yang kau maksudkan untukku. Sialan!

“Udahlah! Gak ada lagi yang perlu dibicarakan antara aku dan kamu, semuanya sudah jelas bagiku.” sergah Dewi. “Jadi, aku benar-benar salah nih?”

“Gak usah dijelasin juga kamu sudah tahu! Ayo Nis, kita cabut. Sudah jelas sekarang siapa dia sebenarnya!” cerocos Dewi seraya menggandeng Anisa pergi meninggalkan meja kami.

Aku hanya bisa memandangi mereka berlalu dari hadapanku, kulihat seisi kafe terpaku ke mejaku. Tak ada lagi gejolak hangat dalam hatiku, kosong sudah rasanya. Begini juga akhirnya, namun kali ini akulah yang kalah. Kulirik Anisa dan Dewi yang semakin menjauh. Terkeseiap aku melihat mereka berdua, dengan sudut mataku tertangkap jelas Anisa melempar senyum menggoda kepadaku. Tak cuma itu, dengan genit dia melempar kecupan dibumbui kerling nakal matanya ke arahku.

Sialan! Aku mengumpat dalam hati sambil melihat sekeliling. Siapa tahu ini jebakan. Pikirku. Siapa tahu ini direkam oleh kamera sebuah acara reality show yang suka cari gara-gara. Siapa tahu sebentar lagi akan muncul sang presenternya. Siapa tahu… siapa tahu…, tapi tak tak ada siapa-siapa yang muncul. Baik itu kamera ataupun presenternya.

Surabaya, 6 Desember 2013

KAFE 1

Posted: 5 Desember 2013 in CERPEN, Tak Berkategori
Tag:, , ,

Di matanya hanya ada kamu.

Kalimat itu terus saja terngiang-ngiang di telingaku. Sebaris kalimat dari iklan sabun mandi wanita. Sebuah kalimat konyol, pikirku. Mana ada laki-laki jaman sekarang yang tidak hijau matanya melihat wanita cantik di depannya. Terlebih lagi dalam iklannya digambarkan bahwa wanita-wanita lain tak terlihat selain gadis yang memakai sabun tersebut. Yang nampak oleh mata hanyalah pakaian-pakaian, wig, sepatu, celana dan ikat pinggang mereka. Yang lucunya tak semua mengenakanya dengan lengkap, ada yang hanya nampak cuma sepatunya, hanya wignya atau bahkan hanya ikat pinggangnya saja.

Tentunya aku tak perlu menjelaskan lebih jauh apa yang membuat itu semua lucu. Ya, betul! Pria mana yang tidak akan menjulurkan lidahnya bak seekor anjing melihat wanita-wanita berkeliaran di sekitarnya hanya mengenakan sepatu, cuma memakai wig, dan hanya cukup dengan melingkarkan ikat pinggang di pinggulnya. Meskipun pria itu bersama pasangannya, aku berani bertaruh dia tak akan melewatkan pertunjukan gratis itu lewat begitu saja.

Begitupun aku. Sebagai seorang laki-laki dengan jujur kuakui memang sulit untuk menjadi pasangan yang setia. Untuk kasusku, bisa dikatakan aku adalah laki-laki yang tidak akan pernah diharapkan oleh wanita manapun di dunia. Jangankan melihat wanita telanjang, melihat wanita berpakaian lengkap saja, -namun menonjolkan lekuk tubuhnya- sudah cukup untuk mengalihkan perhatianku.

Selama sejarah hidupku, lika-liku perjalanan asmaraku selalu berakhir karena sebab yang sama, selalu. Wanita lain. Mereka selalu hadir di depanku, di tengah-tengah rentang jarak antara diriku dan gadisku yang berusaha kuhilangkan. Entah, apa yang diinginkan oleh hatiku? Selalu saja dia terpikat dengan mudahnya oleh kehadiran sosok-sosok menarik tersebut.

Lamat-lamat telingaku menangkap suara lagu yang diputar oleh audio café.

When I fall in love/ It will be forever

Lagu itu, Celine Dion pelantunnya, entah berduet dengan siapa aku tak tahu. Syairnya melemparkan sejuta mimpi dan harapan akan kesetiaan dalam anganku. Namun, lalu lalang para pelayan membuatku tak bisa konsentrasi menikmati lagu. Perlahan kusandarkan punggungku pada sandaran kursi, kucoba untuk rileks. Kulirik jam tanganku, 22:30. Pikiranku mengambang, terbawa irama syahdu yang menelusuk telingaku.

Senyumnya merekah, menambah semerbak indah bibirnya. “Teruslah begitu,” pintaku merayu.

“Terus gimana maksudmu?” tanya dia cepat tanpa kehilangan sesungging senyum di bibirnya. Pandangannya beralih dariku ke jus jeruknya.

Aku tersenyum, kucondongkan badanku ke arahnya. “Terus berikan senyummu itu, berikan padaku. Senyuman manis dari bibirmu,” kataku perlahan, hampir berbisik.

Dia tergelak, tubuhnya terguncang lembut, mundur bersandar pada kursinya menjauhiku. “Kau ini ada-ada saja, memang siapa dirimu. Senyumku bukan kuperuntukkan bagi sesiapapun, tapi bagi semua orang. Semua yang kukenal ataupun tidak.”

Kembali lagi, jarak itu datang sekali lagi, berdiri di antara aku dengannya. Sesaat kusangka telah terhapus, namun selalu begini. Datang ketika harapanku mencapai setengah jalan menuju puncak untuk mendorongnya kembali melorot ke dasar.

Dengan cepat tubuhnya condong mendekat ke arahku, sambil melirik ke kanan dan ke kiri dia berbisik kepadaku, seolah-olah takut akan ada orang lain yang menguping pembicaraan kami. “Kau tahu kenapa kamu kuajak ke sini?” Tanpa menunggu jawabanku di melanjutkan, “karena di sini, di kafe ini, ada orang yang mau kukenalkan sama kamu.”

Aku diam, kuangkat alisku sebagai isyarat tak mengerti arah pembicaraannya. Dia menggeleng, “ah, sudah lupakan. Nanti juga kamu bakal tahu,” sambungnya sambil mengibaskan tangan.

Seraya bersenandung lirih dia mengedarkan pandangan ke setiap sudut kafe, matanya mengamati setiap pengunjung pada tiap meja. Masih tetap sama, lagu yang dia senandungkan, soundtrack film India favoritnya. Lebih dari sekali aku menonton film tersebut, itupun kulakukan hanya karena ingin berada dekat-dekat dengannya. Dia sendiri entah sudah berapa kali menonton film itu, mungkin sudah puluhan kali.

Masih hangat dalam ingatanku pertama kali dia memintaku untuk menemaninya nonton film di kontrakannya, “ayo, kamu nggak ada acara kan? Mendingan temani aku aja deh, kita nonton VCD di tempatku.”

Tentu saja tanpa diminta dua kali aku langsung menyanggupi ajakannya, tapi tak kusangka film India yang harus kutonton. setumpuk VCD di meja televisi tak ada satupun selain film India. gila! Pikirku kala itu. lebih gila lagi waktu kutanya berapa kali dia sudah mononton film yang kami nikmati saat itu. Dia menjawab sering, hingga dia lupa hitungannya.

“Kamu sendiri menyukai film jenis apa?” Tanyanya di suatu kesempatan kepadaku. “Drama, khususnya film-film drama asia,”

“Oh ya! Enggak kusangka. Baru kali ini lho, aku bertemu cowok penyuka film drama.”

“Drama romantis?” Kembali dia bertanya. Aku mengangguk, “apa aja, pokoknya drama. Tapi aku lebih menyukai yang sad ending.”

“Wah! Pasti ada kenangan tersendiri nih. Ayo ngaku aja deh?”

“Enggak kok, aku lebih suka film-film sad ending karena mereka selalu meninggalkan kesan mendalam. Dan biasanya, film-film jenis ini mempunyai alur lambat namun menyentak pada akhirnya, menyadarkan kita bahwa kita tak punya kuasa penuh atas hidup yang kita jalani.”

“Ehmm!” Dia menggeleng, “kok, pesimis gitu sih kedengarannya?”

“Bukan pesimis,” aku menyanggah. “Tetap, dalam hidup kita harus optimis. Namun kita juga harus menyadari bahwa di dunia ini ada banyak faktor yang tak bisa diprediksi dengan alat secanggih apapun. Pada akhirnya faktor-faktor tersebut memiliki peran besar merubah jalan hidup yang kita rencanakan.” Selalu, bersamanya aku menjadi bersemangat, bahkan bisa dikatakan terlalu bersemangat. Seolah-olah dia mempunyai magnet tersembunyi dalam dirinya yang langsung mengacaukan gelombang kendali otakku akan diriku. Ada sesuatu hal yang selalu menggelora dalam hatiku. Membuat dadaku terasa hangat dan tak mau jauh dirinya.

BERSAMBUNG

Surabaya, 2006